Sabtu, 26 Mei 2018

Hp kurang dari 2jt an looh... Minat????

1). Xiaomi Redmi 4X

Xiaomi Redmi 4XRp 1,7 Jutaan
HP android terbaik dibawah 2 juta RAM 3GB di posisi pertama ada Redmi 4X dari vendor asal negeri Tirai Bambu, Xiaomi. Hadir dengan layar 5 inci beresolusi HD, ponsel berdaya 4100 mAh ini menawarkan kamera belakang 13 MP yang dilengkapi dengan phase detection autofocus dan LED flash beserta kamera selfie 5 MP.
Mengenai performanya, Xiaomi mengandalkan chipset Snapdragon 435 yang dipadukan dengan prosesor Octa-core 1.4 GHz Cortex-A53 dan pengolah grafis Adreno 505. Kemudian untuk penyimpanan internalnya, ponsel dengan OS Android 6.0.1 (Marshmallow) ini dibekali dengan ROM 32GB.
Selain sudah 4G LTE, HP android ini juga sudah dilengkapi dengan fitur fingerprint sensor sebagai proteksi keamanannya. Berminat?

2). Xiaomi Redmi Note 3

Xiaomi Redmi Note 3Rp 1,5 Jutaan
Tidak punya cukup dana untuk membeli Redmi 4X namun ingin HP android RAM 3GB yang lebih terjangkau? Mungkin kamu bisa melirik Redmi Note 3. Mengusung layar 5.5 inci beresolusi Full HD, dimensi layarnya yang mumpuni didukung dengan performa handal dari sokongan prosesor Octa-core 2.0 GHz Cortex-A53.
Masih diseputar jeroannya, Xiaomi menyempurnakan spesifikasinya dengan chipset Mediatek MT6795 Helio X10, GPU PowerVR G6200, RAM 3GB serta ROM 32GB, dan baterai berdaya 4000 mAh. Selain menawarkan fitur fingerprint, Redmi Note 3 juga sudah dilengkapi dengan fitur pengisian cepat atau fast charging.
Beralih ke sektor pemotretannya, tersedia kamera belakang 13 MP yang didampingi dengan teknologi phase detection autofocus dan dual-LED dual-tone flash. Tidak ketinggalan pula kamera selfie 5 MP yang mampu merekam video beresolusi Full HD 1080p.

3). Xiaomi Redmi 5

Xiaomi Redmi 5Rp 1,8 Jutaan
Redmi 5 merupakan HP keluaran terbaru dari Xiaomi yang mengusung layar full-display dengan harga terjangkau. Memiliki layar 5.7 inci dengan mengadopsi OS Android 7.1.2 (Nougat), HP android dibawah 2 juta ini dibekali dengan RAM 3GB dan penyimpanan internal bermuatan 32GB.
Di bagian hardware-nya, terdapat chipset Snapdragon 450, CPU Octa-core 1.8 GHz Cortex-A53, GPU Adreno 506, serta baterai berdaya 3300 mAh yang dilengkapi dengan fast charging. Oh ya, Redmi 5 juga mempunyai sensor sidik jari di bagian bodi belakangnya.
Lanjut ke lini kameranya, tersedia kamera belakang 12 MP yang dibekingi teknologi phase detection autofocus dan LED flash. Untuk ber-selfie, Redmi 5 menyediakan kamera depan 5 MP.

4). Xiaomi Redmi Note 4x

Xiaomi Redmi Note 4xSatu lagi nih, HP android dibawah 2 juta terbaik dari Xiaomi, dia adalah Redmi Note 4x. Dibekali dengan RAM 3GB dan ROM 16GB, dapur pacu ponsel berlayar 5.5 inci ini terbilang gesit karena disokong oleh prosesor Octa-core 2.0 GHz Cortex-A53 yang berpacu dengan chipset Snapdragon 625 dan GPU Adreno 506.
Puas dengan performanya, ponsel berdaya 4100 mAh ini juga menawarkan sektor fotografi yang mumpuni lewat kamera belakang 13 MP yang dilengkapi dengan teknologi phase detection autofocus dan dual-LED dual-tone flash beserta kamera depan 5 MP. Kemudian untuk proteksi keamanannya, Xiaomi melengkapinya dengan fingerprint sensor. Mau?

5). Infinix Hot S Pro X521

Infinix Hot S Pro X521Rp 1,7 Jutaan
Cari HP android dibawah 2 juta dengan spesifikasi tinggi tapi bukan dari China? Infinix Hot S Pro X521 merupakan sebuah pilihan yang tepat untukmu. Hadir dengan layar 5.2 inci beresolusi HD, smartphone berfitur fingerprint ini dibekali dengan RAM 3GB, ROM 16GB, serta baterai berkapasitas 3000 mAh.
Di lini jeroannya, Infinix menggunakan chipset Mediatek MT6753 yang dikolaborasikan dengan prosesor Octa-core 1.3 GHz Cortex-A53 serta GPU Mali-T720 MP3. Kemudian untuk kameranya, Hot S Pro menawarkan kamera belakang 13 MP dengan teknologi autofocus dan dual tone LED flash beserta kamera depan 8 MP.

6). Infinix Note 4 X572

Infinix Note 4 X572Infinix Hot 4 X572 menjadi salah satu smartphone best-seller dari Infinix karena speknya yang begitu gahar. Di bagian daya sokong misalnya, HP android ini dibekali dengan baterai berkapasitas 4300 mAh, lengkap dengan dukungan XCharge atau teknologi pengisian cepat.
Urusan performa, Infinix menyerahkannya pada chipset Mediatek MT6753, prosesor Octa-core 1.3 GHz, serta kartu grafis Mali-T720 MP3. Spek tersebut juga disempurnakan dengan RAM 3GB dan memori internal 16GB yang dapat diperluas melalui microSD hingga 128GB.
Kemudian untuk berfoto-foto, ada kamera belakang 13 MP yang didukung Phase Detection Autofocus, LED flash, dan fitur fotografi umum lainnya. Untuk ber-selfie, ponsel berlayar 5.7 inci ini menawarkan kamera depan 8 MP. Kerennya, Infinix Hot 4 X572 juga dilengkapi dengan fingerprint di bagian depan. Tertarik?

7). Lenovo Vibe K5 Plus

Lenovo Vibe K5 PlusHP android terbaik berikutnya juga dimiliki smartphone besutan Lenovo, yakni Vibe K5 Plus. Dibekali dengan RAM 3GB dan memori internal 16GB, dapur pacu ponsel berlayar 5 inci ini disokong oleh chipset Snapdragon 616 yang dipadukan dengan prosesor Octa-core 1.5 GHz Cortex-A53 serta GPU Adreno 405.
Puas dengan performanya yang gesit, ponsel berdaya 2750 mAh ini juga menawarkan sektor fotografi yang menggiurkan dengan kamera belakang 13 MP beserta kamera depan 5 MP, lengkap dengan dukungan autofocus dan LED flash. Meski tidak dilengkapi fingerprint, ponsel berkoneksivitas 4G LTE ini menawarkan fitur USB OTG.

8). Lenovo Vibe K6 Power

Lenovo Vibe K6 PowerDibanderol seharga 1,9 jutaan, K6 Power memiliki keunggulan pada lini dayanya dengan membawa baterai berkapasitas 4000 mAh. Baterainya yang besar semakin sempurna berkat dukungan prosesor Octa-core 1.4 GHz Cortex-A53, chipset Snapdragon 430, dan GPU Adreno 505.
Menelitik ke bagian kameranya, ponsel dengan RAM 3GB dan ROM 32GB ini menyediakan kamera belakang 13 MP yang dilengkapi dengan teknologi phase detection autofocus dan LED flash beserta kamera depan 8 MP. Selain sudah 4G LTE, HP android ini juga menawarkan sensor sidik jari.

9). Lenovo Vibe K4 Note

Lenovo Vibe K4 NoteRp 1,7 Jutaan
Meski bukan merupakan HP keluaran terbaru dari Lenovo, K4 Note memiliki spek yang masih bisa diandalkan hingga saat ini. Tampil dengan layar 5.5 inci beresolusi Full HD, HP android dibawah 2 juta ini didukung oleh chipset Mediatek MT6753, prosesor Octa-core 1.3 GHz Cortex-A53, dan pengolah grafis Mali-T720MP3.
Masih diseputar jeroannya, K4 Note juga dibekali dengan RAM 3GB dan ROM 16GB. Untuk menyokong dayanya, HP Lenovo berfitur fingerprint ini membawa baterai berkapasitas 3300 mAh. Oh ya, untuk kebutuhan berfotonya ada kamera belakang 13 MP yang didukung dengan phase detection autofocus dan dual-LED dual-tone flash beserta kamera depan 5 MP.

10). Meizu M3S

Meizu M3SRp 1,8 Jutaan
Meski namanya tidak sepopuler merk smartphone lainnya, Meizu menjadi salah satu merk smartphone yang wajib kamu lirik karena spek serta kualitasnya yang mengagumkan. Meizu M3S ini misalnya, smartphone berdesain seperti iPhone ini dibekali dengan RAM 3GB, ROM 32GB, serta teknologi fingerprint.

Sharp aqous s2

Seperti yang dikatakan laporan belakangan ini, Sharp diharapkan segera meluncurkan smartphone full-screen yang akan menjadi Sharp Aquos S2. Nah, baru-baru ini akun Weibo milik Luo Zhingsheng selaku wakil presiden senior dari Foxconn Technology Group telah mengunggah beberapa foto yang diduga merupakan hasil kamera Sharp Aquos S2. Sebelum kita membahas hasil foto yang diduga hasil dari kamera Aquos S2, beberapa gambar yang memperlihatkan wujud Aquos S2 juga telah beredar. Dari gambar tersebut, kita bisa melihat jika smartphone tersebut memiliki panel depan yang didominasi oleh layar. Desainnya sekilas mirip dengan render iPhone 8 yang selama ini beredar. Sharp Aquos S2 bakal menjadi beberapa model, dan bocoran foto yang muncul di Weibo merupakan hasil dari salah satu model. Sharp Aquos S2 dengan nomor model FS8016 mengusung layar seluas 5,5 inci degan resolusi FHD 1080p. Smartphone ini ditenagai oleh chipset Snapdragon 660 dan memiliki RAM sebesar 6GB dengan penyimpanan internal 128GB. Terdapat setup dual-kamera pada model ini, yang terdiri dari 12MP+8MP. Sementara untuk unit dengan nomor model FS8010 bakal hadir dengan spesifikasi yang lebih rendah, yakni dengan chipset Snapdragon 630. Kedua model diharapkan mengusung teknologi fingerprint under display yang selama ini belum sempat dihadirkan oleh Samsung dan Apple pada perangkat milik mereka. Nah, untuk model yang ketiga ini bakal menjadi varian tertinggi, dimana handset tersebut bakal mengusung layar seluas 5,5 inci beresolusi 2160 x 3840 (UHD). Mengingat resolusi layar yang ditawarkan begitu tinggi, kita dapat berasumsi jika chipset yang digunakan oleh model ini adalah chipset flagship, yakni Snapdragon 835.

Selengkapnya: https://www.beritateknologi.com/orang-dalam-foxconn-bocorkan-hasil-kamera-sharp-aquos-s2/

Spesifikasi fujitsu arrow nx 01 f

Di dalam segmen ponsel cerdas,  Fujitsu mungkin tidak terlalu populer di kalangan konsumen Indonesia. Namun, brand ini menjadi salah satu opsi menarik bagi mereka yang membutuhkan  dengan harga terjangkau. Ada beberapa ponsel cerdas yang telah diluncurkan oleh Fujitsu, salah satunya model Arrows NX-F101 yang saat ini ditawarkan di kisaran harga mulai Rp570 ribuan dalam model batangan.
Fujitsu Arrows NX-F101
Fujitsu Arrows NX-F101
Jika Anda melakukan penelusuran di Google, di beberapa situs jual beli online lokal, penjual memang rata-rata menyebut ponsel ini dengan nama Fujitsu Arrows NX-F101. Namun, berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, nama resmi dari perangkat ini adalah Arrows NX F-01F yang pertama kali diluncurkan Fujitsu ke  global sekitar tahun 2013 lalu.
Di dalam situs resminya, perusahaan asal Jepang mengatakan bahwa dengan layar WhiteMagic, yang menambahkan piksel putih ke piksel RGB layar yang ada, panel ponsel menghabiskan daya hingga 45% lebih sedikit dibandingkan model Arrows sebelumnya yang tidak menggunakan  ini. Meskipun konsumsi daya telah ditingkatkan, layar memberikan tingkat kecerahan yang sama seperti generasi sebelumnya.
Teknologi display WhiteMagic dikatakan mampu mengurangi konsumsi daya tidak hanya saat dalam mode standby, tetapi juga saat melihat konten  atau menggunakan browser web. Selain itu, layar HD berukuran 5 inci ini menawarkan pencahayaan sebesar 800 cd, di antara kelas atas smartphone, membuatnya terlihat jelas dan mudah dibaca saat browsing internet, membaca email dan dokumen lainnya, melihat foto, bahkan di bawah sinar matahari langsung.
Untuk mendukung kebutuhan pengguna, smartphone Android 4.2 ini telah dilengkapi dengan berbagai jeroan mumpuni, seperti CPU quad-core berkecepatan 2.2 GHz (Qualcomm MSM8974), sistem input bahasa Jepang ATOK berkinerja tinggi, tahan air IPX5/8 (7), inframerah, NFC (dilengkapi dengan FeliCa), Osaifu-Keitai, 1-seg dan full-seg siaran televisi, pemancar FM, DLNA/DTCP-IP, Miracast, dan Bluetooth 4.0
Sementara, dari sektor penyimpanan, perangkat ini mengusung memori internal berkapasitas 32 GB dan dukungan slot memori eksternal micro SD yang bisa menampung hingga 64 GB. Kinerja perangkat ditunjang kehadiran memori berkapasitas 2 GB, sedangkan untuk kebutuhan foto, tersedia  belakang 13 MP dan  depan 1,3 MP. Berikut spesifikasi teknis Fujitsu Arrows NX F-01F.
Jaringan2G, 3G, 4G, GPRS, EDGE
SIM CardNano SIM
Dimensi140 x 70 x 10 mm
Berat150 gram
Layar5 inch, 1080 x 1920 piksel, TFT, multi-touch, Corning Gorilla Glass
MemoriInternal 32 GB; Eksternal hingga 64 GB
RAM2 GB
ChipsetQualcomm MSM8974-AA Snapdragon 801
ProsesorQuad Core 2,2 GHz
GPUAdreno 330
Sistem OperasiAndroid 4.4.2 (); Android 4.2.2 (Jelly Bean)
Kamera13,1 MP (primer); 1,3 MP (depan)
KonektivitasBluetooth 4.0, micro USB, audio jack, Wi-Fi 802.11 a/b/g/n, NFC, TV-Out, infrared
Ketika pertama kali meluncurkan perangkat ini, Fujitsu menghadirkan Arrows NX F-01F dalam varian warna biru, putih, dan magenta. Saat ini,  batangan ponsel ini ditawarkan dengan harga mulai Rp570 ribuan untuk model dengan Android 4.2.2 (Jelly Bean) dan Rp670 ribuan untuk model 4G dengan Android 4.4.2 (KitKat).

TEORI PEMBELAJARAN AUSUBEL

David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang terkenal dengan teori belajar bermakna (meaningfull). Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja.
Menurut Ausubel (Burhanuddin, 1996: 112) pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.
Menurut teori David Ausubel bahwa belajar seharusnya asimilasi yang bermakna bagi siswa (Budiningsih, 2005: 43). Untuk terjadinya belajar bermakna maka para guru, perancang pembelajaran, dan pengembang program-program pembelajaran harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki peserta didik dan membantu memadukannya secara harmonis dengan pengetahuan baru yang akan dipelajari, (Bambang, 2008: 73).
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Pembelajaran bermakna terjadi apabila seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Dalam proses belajar seseorang mengkonstruksi apa yang telah ia pelajari dan mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam struktur pengetahuan mereka.
Pembelajaran bermakna mengacu pada konsep bahwa pengetahuan yang dipelajari sepenuhnya dipahami oleh individu dan bahwa individu tahu bagaimana fakta yang spesifik berkaitan dengan fakta-fakta yang tersimpan sebelumnya (yang disimpan dalam otak).
Miles Berry (2012) menjelaskan belajar bermakna merupakan belajar yang dengan tujuan yang lebih jelas, pembelajaran yang memungkinkan orang-orang yang terlibat di dalamnya untuk melakukan lebih banyak makna kepada dunia di sekitar mereka, belajar terhadap hal-hal yang lebih realistis yang diditandai dengan pembelajaran yang lebih aktif, konstruktif, disengaja, otentik dan kooperatif.
Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam strukturkognitif seseorang. Konsep ini menjelaskan bahwa dalam diri seorang pelajar sudah ada organisasi dan kejalasan tentang pengetahuan dibidang subjek tertentu. Organisasi yang dimaksud sebagai struktur kognitif dan percaya bahwa struktur ini menentukan kemampuan pelajar untuk menangani berbagai ide dan hubungan baru. Makna dapat muncul dari materi baru hanya bila materi itu terkait dengan struktur kognitif dari pembelajaran sebelumnya.
Asumsi bahwa tujuan utama pendidikan di semua tingkatan diupayakan untuk melibatkan para siswa dalam pembelajaran bermakna, yang terjadi ketika siswa melakukan proses pembelajaran. Sementara sekolah memainkan berbagai peran sosial, cus-todial, dan organisasi penting dalam masyarakat, kewajiban utama guru harus membantu siswa untuk belajar bagaimana mengenali dan memecahkan masalah, memahami fenomena baru, membangun model mental, dan diberi situasi baru yang kondusif, menetapkan tujuan dan mengatur pembelajaran mereka sendiri (learn how to learn). Pembelajaran bermakna berupaya melibatkan para siswa dalam aktif, konstruktif, pembelajaran disengaja, otentik, dan kooperatif.
Pembelajaran Bermakna adalah Aktif (Manipulative/Observant)
Belajar adalah proses mengalami. Manusia memiliki kemampuan untuk mempelajari dan beradaptasi dengan lingkungan. Manusia dari segala usia dapat mengembangkan keterampilan dan membangun pengetahuan lebih lanjut dunia di sekitar mereka ketika ingin mengetahuinya. Ketika belajar tentang hal-hal dalam konteks alam, manusia berinteraksi dengan lingkungan mereka dan memanipulasi benda-benda dalam lingkungan tersebut, mengamati efek dari intervensi mereka dan membangun pengetahuan mereka sendiri menginterpretasi fenomena dan hasil manipulasi.         
Pembelajaran bermakna menstimulasi siswa untuk aktif terlibat dalam tugas yang bermakna di mana mereka memanipulasi objek dan lingkungan dan mengamati hasil sebagai sebuah pengalaman bermakna.


Belajar Bermakna adalah Konstruktif.
Pembelajaran yang berpusat pada siswa, pengetahuan yang dipunyai oleh murid adalah hasil dari aktivitas yang dilakukan oleh siswa dan bukan pembelajaran yang ditrerima secara pasif. Guru sebagai fasilitator yang membantu siswa membina pengetahuan dan menyelesaikan masalah.
Belajar Bermakna adalah Kolaboratif.
Kebermaknaan dapat terjadi dari hubungan kolaborasi diantara siswa, yaitu situasi dimana terdapat dua atau lebih orang belajar atau berusaha untuk belajar sesuatu secara bersama-sama. Tidak seperti belajar individual, orang yang terlibat dalam kolaborasi memanfaatkan sumber daya dan keterampilan satu sama lain.
Konsep ini didasarkan pada model di mana pengetahuan dapat dibuat dalam suatu populasi di mana anggotanya secara aktif berinteraksi dengan berbagi pengalaman dan mengambil peran asimetri (berbeda). Kolaborasi dalam belajar mengacu pada lingkungan dan metodologi kegiatan peserta didik melakukan tugas umum di mana setiap individu tergantung dan bertanggung jawab satu sama lain. Termasuk juga percakapan dengan tatap muka dan diskusi melalui komputer atau internet.
Belajar Bermakna adalah Authentic Learning.
Siswa belajar terbaik dengan terlibat dalam tugas-tugas belajar otentik, dengan mengajukan pertanyaan, dan dengan menggambar pada pengalaman masa lalu, untuk belajar terjadi bagi siswa, itu harus dilakukan dengan cara dan di tempat yang relevan dengan "nyata" kehidupan mereka, baik di dalam maupun di luar kelas. Pembelajaran otentik merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa menggali, mendiskusikan, dan membangun secara bermakna konsep-konsep dan hubungan-hubungan, yang melibatkan masalah nyata dan proyek yang relevan dengan siswa. Pembelajaran ini dapat digunakan untuk siswa pada semua tingkatan kelas, maupun siswa dengan berbagai macam tingkat kemampuan.
 Belajar bermakna merupakan Aspek Kesengajaan (Intentional).
Semua perilaku manusia diarahkan untuk mencapai tujuan (Schank, 1994). Artinya, segala sesuatu yang kita lakukan adalah dimaksudkan untuk memenuhi tujuan tertentu. Ketika peserta didik secara aktif dan sengaja berusaha untuk mencapai tujuan kognitif, mereka berpikir dan belajar lebih banyak karena mereka memiliki tujuan yang jelas. Carayang tepat untuk memperoleh banyak pengetahuan adalah dengan caramengalami secara langsung. Proses mengalami situasi yang nyatasebagai sumber terjadinya kebermaknaan dalam belajar.
Tipe Belajar Menurut David Ausubel
Ada beberapa tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.
Ciri Belajar Bermakna
Nasution (2003) memaparkan belajar bermakna dapat diidentifikasi sebagai berikut : 
Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan-bahan baru dengan bahan-bahan lama.
Lebih dulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal-hal yang lebih terperinci.
Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama.
Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan
Informasi yang dipelajari secara bermakna dapat lebih lama untuk diingat.
Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.

Karakteristik belajar bermakna
Bermakna terjadi jika suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang, selanjutnya bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk mengasimilasikan pengertian baru pada konsep-konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif, maka akan terjadi belajar hafalan. Proses belajar bermakna terdiri dari dua proses yaitu proses penerimaan dan proses penerimaan dan proses penemuan. Terdapat faktor yang mempengaruhi belajar bermakna yaitu struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari dan ditekankan pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam system pengertian yang telah dipunyainya. Teori ini menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandalkan bahwa dalam pembelajaran itu aktif.
Prinsip Belajar Bermakna
Terdapat empat prinsif dalam menerapkan teori belajar bermakna Ausubel yaitu :
Pengaturan Awal, dalam hal ini hal yang perlu dilakukan adalah mengarahkan dan membantu mengingat kembali.
Defrensiasi Progresif, dalam hal ini yang perlu dilakukan adalah menyusun konsep dengan mengajarkan konsep-konsep tersebut dari inklusif kemudian kurang ingklusif dan yang paling ingklusif.
Belajar Subordinat, dalam hal ini terjadi bila konsep-konsep tersebut telah dipelajari sebelumnya.
Penyesuaian Integratif, dalam hal ini materi disusun sedemikian rupa hingga menggerakkan hirarki konseptual yaitu ke atas dan ke bawah.
Dimensi Teori David Ausubel
Menurut Ausubel (Dahar, 2006: 94), belajar diklasifikasikan ke dalam dua dimensi yaitu:
Berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Informasi dapat dikomunikasikan pada peserta didik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan peserta didik untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan.
 Menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah fakta, konsep dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh peserta didik.
Kebaikan Belajar Bermakna
Menurut Ausubel dan Novak (Burhanuddin, 1996 : 115) ada tiga kebaikan belajar bermakna, yaitu :
Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat.
Informasi baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep relevan sebelumnya dapat meningkatkan konsep yang telah dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses belajar mengajar berikutnya untuk memberi pelajaran yang mirip.
Informasi yang pernah dilupakan setelah pernah dikuasai sebelumnya masih meninggalkan bekas sehingga memudahkan proses belajar mengajar untuk materi pelajaran yang mirip walaupun telah lupa.
Prasyarat agar belajar menerima menjadi bermakna menurut Ausubel, yaitu:
Belajar menerima yang bermakna hanya akan terjadi apabila siswa memiliki strategi belajar bermakna.
Tugas-tugas belajar yang diberikan kepada siswa harus sesuai dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Tugas-tugas belajar yang diberikan harus sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa.


Prosedur untuk belajar secara bermakna
Menggunakan advance organizes yaitu disajikan dalam tingkat observasi yang lebih tinggi.  Guru menyajikan bahwa dalam sub-sub konsep yang dapat membantu siswa dalam menggolong-golongkan bahan baru itu. Kondisi belajar menjadi bermakna bila si pelajar mempunya ide yang relevan dalam struktur kognitifnya dengan bahan baru itu.
Dengan integrative reconsilation yaitu ide baru diintegrasikan dengan ide yang telah dipelajari sebelumnya.
Hubungan Teori Belajar Bermakna dan Konstruktivisme
Teori Belajar Bermakna Ausubel sangat dekat dengan Konstruktivisme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar, akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
Langkah-langkah Belajar Bermakna Menurut Ausubel
Cara Pembelajaran Bermakna dengan Menggunakan Peta Konsep :
Pilih suatu bacaan dari buku pelajaran.
Tentukan konsep-konsep yang relevan.
Urutkan konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif atau contoh-contoh.
Susun konsep-konsep tersebut di atas kertas mulai dari konsep yang paling inklusif di puncak konsep ke konsep yang tidak inklusif di bawah.
Hubungkan konsep-konsep ini dengan kata-kata penghubung sehingga menjadi sebuah peta konsep.
Langkah-langkah yang dilakukan guru untuk menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah sebagai berikut: Advance organizer merupakan pola interaksi siswa dengan guru di dalam kelas yang menyengkut strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas (Suherman, 2001: 8). Model pembelajaran disusun untuk mengarahkan belajar, dimana guru membantu siswa untuk memperoleh informasi, ide keterampilan, nilai, cara berpikir dan mengekspresikan dirinya (Joyce et.al dalam Budiningsih, 2003 : 11).
Langkah-langkah Belajar Bermakna Menurut Ausubel :
Menentukan tujuan pembelajaran.
Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, motivasi, gaya belajar, dan sebagainya).
Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep inti.
Menentukan topik-topik dan menampilkannya dalam bentuk advance organizer yang akan dipelajari siswa.
Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk nyata/konkret.
Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

Perbedaan islam priyai, abangan, dan santri

Muhammad salman alfarizi
17106090028
1.perbedaan dan persamaan islam santri, abangan dan priayi
a. Islam santri
Penggolongan santri dalam penelitian Geertz termasuk dalam kategorisasi Islam Nusantara yang mencakup pola kehidupan keagamaan masyarakat Jawa berkaitan langsung dengan representasi perilaku dan praktik-praktik ritual dalam beragama. Dalam penelitan Geertz, santri merupakan tipe masyarakat yang dinilai taat dan mantap dalam menjalankan perintah agama yang berkaitan dengan rukun Islam maupun ajaran-ajaran yang lain. Sebagai kelompok masyarakat yang mendalami agama Islam dengan sungguh-sungguh, santri dapat dikategorikan sebagai generasi muslim yang dapat diandalkan untuk meneruskan estafet kepemimpinan ulama atau kiai dalam tradisi pesantren.
Dalam penelitian Geertz, santri ditempatkan sebagai kelompok masyarakat yang paling taat dalam menjalankan perintah agama dan mampu menguasai ilmu agama dengan baik. Bagi kalangan santri, peribadatan menjadi aktifitas yang paling penting dalam memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Perintah agama seperti shalat, puasa, zakat, dan lainnya menjadi karakter tersendiri yang melekat dalam varian santri sehingga menempatkan mereka sebagai penjaga moral dan sosial dalam kehidupan masyarakat. Tipikal yang melekat dalam varian santri ini jelas dapat dibedakan dengan varian-varian lainnya, seperi abangan maupun priyayi.
Penafsiran Geertz tentang varian santri sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan penafsiran dalam tradisi pesantren. Sebagai bagian dari Islam tradisional, pesantren memang sangat identik elemen santri yang menjadi bagian penting dalam pengembangan sistem pendidikan Islam di Indonesia. Terlepas dari penelitian Geertz yang menempatkan santri sebagai kelompok masyarakat yang sungguh-sungguh dalam menjalankan perintah agama, varian atau kelompok keagamaan seperti santri memang tidak bisa dilepaskan dari tradisi pesantren. Harus disadari bahwa setiap orang yang betul-betul menjalankan ibadah dan perintah agama dapat dikatagorikan atau disebut sebagai santri, walaupun tidak pernah mondok di pesantren. Bagi saya, santri dan pesantren adalah permata berpisau dua yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena ketika menyebut istilah santri, maka yang muncul di benak kita adalah pesantren.
Kemunculan pesantren pada abad ke-19 bisa menjadi bukti kekhasan Islam Nusantara yang diwarnai berbagai macam varian atau pola keagamaan yang berbeda. Varian santri dalam tradisi pesantren menjadi salah satu kekhasan Islam Nusantara yang tidak dimiliki negara lain yang mayoritas muslim. Kekhasan dalam tradisi pesantren ini merupakan kekayaan tersendiri dalam dinamika perkembangan pendidikan Islam tradisional sehingga menempatkan santri sebagai tonggak penyelamatan bangsa dari kehancuran moral dan juga sebagai generasi muslim yang dapat diandalkan untuk turut serta dalam membangun bangsa ke arah kemajuan yang signifikan.
Bila merujuk pada istilah Clifford Geertz, sebutan santri ternyata mempunyai dualisme pengertian dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, santri adalah orang yang memeluk Islam secara tulen, bersembah yang, pergi ke masjid pada hari jum’at dan sebagainya. Sementara dalam arti sempit, santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang belajar di pondok pesantren. Di pesantren inilah seorang santri membekali diri dengan beragam pengetahuan agama dari seorang kiai yang tidak hanya menjadi pemimpin umat di kalangan intern sendiri, melainkan juga bagi masyarakat Islam secara lebih luas.
Katagori Islam santri yang dimaksud Clifford Geertz memang mencakup pengertian yang lebih luas, karena tidak secara langsung diidentikkan dengan sebutan santri yang belajar di pesantren. Sementara dalam pengertian saya, santri adalah identik dengan pesantren yang tetap menunjung tinggi nilai-nilai dan tradisi keberagamaan yang kuat. Meski demikian, santri adalah tetap identik dengan seseorang yang mapan dalam ilmu agama walaupun tidak pernah belajar di pesantren, tetapi memenuhi kriteria sebagai kelompok masyarakat muslim yang taat menjalankan perintah agama. Meski demikian, peran kiai dan atau pemimpin umat memegang peranan penting dalam hal pembaruan pendidikan Islam, yang sekaligus merupakan sikap resistensinya (perlawanan terselubung) terhadap pemerintah imperialis Belanda dan Jepang. Kepercayaan santri dan masyarakat terhadap kiai menyebabkan posisi kiai sangat dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat setempat.
Di Madura, santri adalah bagian terpenting dari pesantren yang mencakup sekelompok generasi muslim yang berupa belajar ilmu agama dengan konsisten. Bila pesantren selalu identik dengan lembaga pendidikan Islam tradisional, maka pada perkembangan selanjutnya pesantren sudah mulai mengalami perubahan dari berbagai aspek yang melatarbelakanginya, termasuk sistem pendidikan yang dijalankan. Sampai kapan pun, kelompok santri dalam varian muslim tidak bisa dilepaskan dari lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren. Buktinya, Belanda mulai melirik pesantren sebagai budaya asli Indonesia yang berasal dari akar rumput, terutama dari kalangan Islam tradisionalis.
Sampai kapan pun, kelompok santri dianggap sebagai generasi emas dari sebuah lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Kendati dianggap statis dalam penerapan sistem pendidikan, santri dan pesantren tetap menjadi simbol bagi kekuatan budaya bangsa yang mengisyaratkan perkembangan dakwak Islam secara total. Snouck Hurgronje menunjukkan betapa Islam tradisional di Jawa begitu sangat kuat mempengaruhi pikiran masyarakat sehingga memiliki vitalitas dalam mempertahakan kekuatan sosial, kultural, dan keagamaan. Ia melihat bahwa Islam tradisional di Jawa yang kelihatannya begitu statis dan terbelenggu oleh pikiran-pikiran para ulama pada abad pertengahan, sebenarnya telah mengalami perubahan yang sangat fundamental melalui tahapan-tahapan penting yang tersembunyi di dalamnya. 

Islam Abangan: Representasi Muslim Sinkretis dan Magis
Katagori Islam Nusantara yang terbilang unik juga adalah istilah Islam Abangan yang menjadi varian muslim di Indonesia. Katagorisasi Islam Abangan yang dikemukakan Geertz sebagai bagian dari perilaku pola keagamaan pada masyarakat muslim Jawa, sesungguhnya kurang tepat karena abangan dan santri memiliki kedekatan emosional sebagai muslim tradisional yang mayoritas hidup di pedesaan. Sebagai bagian dari muslim Jawa, Abangan ditempatkan oleh Geertz menjadi kelompok masyarakat yang kurang memiliki pengetahuan tentang ajaran agama, bahkan bisa dianggap sebagai muslim awam yang berasal dari desa.
Kelompok keagamaan dalam tradisi masyarakat Jawa termasuk Islam Abangan merupakan representasi dari kecenderungan perilaku masyarakat yang mengaku sebagai muslim, tetapi tidak konsisten dalam menjalankan perintah agama. Ketidakkonsistenan menjalankan perintah agama bukan karena tidak paham tentang agamanya, melainkan lebih karena mereka masih percaya dengan tradisi-tradisi lokal yang sudah berkembang sejak lama. Islam Abangan memang tidak secara terang-terangan menyatakan dirinya sebagai muslim, karena mereka memang Islam berdasarkan faktor keturunan yang mempengaruhi proses awal penyebaran agama Islam ketika dibawa oleh Wali Songo.
Perilaku muslim Abangan bisa merepresentasikan sebagai kelompok tani yang kurang memerhatikan doktrin Islam secara mapan dan lebih mengedepankan kepercayaan-kepercayaan lokal berupa klenik yang berbau mistis sehingga memberikan kesan sebagai kelompok masyarakat yang kurang taat. Kawasan pedesaan dan masyarakat miskin yang berasal dari kaum petani merupakan peta wilayah Islam Abangan yang memiliki tradisi kehidupan dan kepercayaan yang cenderung sinkretis dan magis yang dipandang sebagai ancaman masa depan purifikasi Islam di Nusantara. Perilaku keagamaan muslim Abangan juga tidak lepas dari pengaruh animisme dan dinamisme (Hindu-Budha) dari nenek moyang sejak dulu.
Kepercayaan kuat Islam Abangan akan sinkretisme makin mempersulit gerakan fundamentalisme atau pemurnian Islam di kalangan masyarakat muslim yang mengusung pembaharuan (modernisasi) untuk menghilangkan kepercayaan yang berbau tahayyul dan khurafat-sehingga apa yang dianasir Abdul Munir Mulkhan tentang pudarnya fundamentalisme di pedesaan tampak nyata dalam dinamika keagamaan kaum Abangan. Apalagi kepercayaan yang tumbuh dari kehidupan petani di pedesaan muncul dalam polarisasi yang selalu berubah, baik dalam pola gerakan atau pun perilaku masyarakatnya. Polarisasi demikian akan tampak pada berada dalam garis fundamentalisme dalam pemurnian Islam dan toleransi yang lebih besar terhadap realitas kehidupan keagamaan petani yang cenderung sinkretik.   
Tampaknya apa yang sinyalir Abdul Munir Mulkhan tentang pudarnya fundamentalisme di pedesaan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang mungkin saja terjadi. Ini karena, kepercayaan sinkretisme begitu mengakar kuat dalam kehidupan keagamaan kaum Abangan sehingga sulit untuk menghapus kepercayaan tersebut. Kepercayaan terhadap mekanisme alam yang di luar kemampuan kontrol dan kendali petani, membuat sinkretisme tumbuh subur di pedesaan dan kurang begitu berkembang di dalam masyarakat yang hidup dari mekanisme pasar. Bahkan, sinkretisme hampir mustahil dihilangkan dari praktik keagamaan muslim Abangan karena faham ini begitu inheren dalam kultur masyarakat yang tradisional dan kolot.
Dari perspektif ini, kaum tani sulit menghilangkan dan meninggalkan sinkretisme, kecuali oleh kekuatan lebih besar yang bisa membebaskan ketergantungan atas alam. Pada saat yang lain, Islam murni tidak mampu memberi pedoman secara rinci bagaimana kaum petani bisa membebaskan diri dari ancaman alam, kecuali dengan menghubungkan setiap peristiwa dengan peran Tuhan yang misterius. Ini karena Islam murni yang abstrak jauh dari dunia pertanian yang tidak berhubungan dengan masalah objektif dari kehidupan petani, sementara sinkretisme memberi cukup informasi bagaimana menjalin hubungan dengan kekuatan supernatural berupa roh gaib atau Tuhan sekalipun.
Meskipun kaum Abangan disebut sebagai kelompok muslim, namun tingkat pemahaman keagamaan mereka jauh dari kepercayaan terhadap syariat. Hal ini berarti bahwa ada hubungan antara kepercayaan seseorang dengan dinamika sosial mereka hidup. Kepercayaan syariat adalah bagian dari proyeksi manusiawi mengenai kepentingan kehidupan ideal yang ingin dicapai dan secara idealektik berhubungan dengan dinamika kehidupan sosial penganutnya, termasuk kepercayaan kaum Abangan terhadap sinkretisme. Kepercayaan sinkretis yang tampak dalam perilaku keagamaan kaum Abangan merupakan unsur pokok agama sebagai proyeksi manusiawi yang lahir dari alam dan hubungan sosial. Tidak heran bila kehidupan sosial yang tumbuh dari mekanisme pertanian dan terikat dengan alam, menjadikan proyeksi duniawi ini selalu terarah pada kekuatan yang mempengaruhi alam secara magis.
Menurut Abdul Munir Mulkhan, kepercayaan magis tampak memainkan peranan penting dalam kehidupan petani sebagai representasi kaum Abangan, meskipun juga dasar kepercayaan Islam murni mendorong adanya rasionalisasi hubungan petani dan alam. Kepercayaan terhadap sinkretisme secara tidak langsung telah mempengaruhi pola kehidupan keagamaan kaum Abangan sehingga mereka meyakini bahwa kekuatan magis atau hal-hal yang menyangkut mistis bisa merubah nasib dan takdir mereka sendiri. Pola kehidupan keagamaan semacam ini tidak bisa dipungkiri telah menjadikan kaum Abangan sebagai tipikal kultur masyarakat yang jauh dari agama yang ketat.
Bagi Geertz, fenomena perilaku keagamaan kaum petani yang merepresentasikan muslim Abangan tidak bisa lepas dari pengaruh kebudayaan lokal yang sudah berkembang sejak lama, terutama kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme. Bagi kalangan Abangan, kepercayaan terhadap doktrin agama tidak terlalu penting, bahkan mereka terkesan acuh tak acuh. Hal ini juga banyak dilatarbelakangi oleh pesona ritual yang inhern terutama pada saat melaksanakan slamaten. Perayaan slametan bagi kaum Abangan tak ubahnya seperti kewajiban dan tidak bisa ditinggalkan begitu saja, semisal slametan “bersih desa” atau kepercayaan lain yang mengundang roh-roh atau hal-hal ghaib dalam pola kehidupan mereka.
Ritual slamaten dalam kehidupan kaum Abangan begitu tampak ketika mengadakan upacara-upacara keagamaan untuk memperoleh keberkatan. Meskipun perayaan ritual bercorak keagamaan, namun tidak bisa lepas dari tradisi kebudayaan lokal yang dikorelasikan dengan pengetahuan filosofi masyarakat setempat. Tidak heran ritual keagamaan dalam konteks sosial dan kebudayaan Jawa, misalnya, sering disebut dengan slametan (salvation), yang mengharapkan keselamatan dan semakin kuatnya kebersamaan serta kesetiakawanan antar sesama masyarakat. Kehadiran konsep slametan bukan berarti sebagai pameran atau pertunjukan dan bukan juga berarti “menyenikan” ritual agama, melainkan merupakan suatu pengalaman yang harmonis antara Allah dan manusia (hablum min-allah), manusia dan alam semesta (hablum min-alam), dan manusia dengan sesama (hablum min-naas).
Meski demikian, kaum Abangan kurang memerhatikan hal-hal yang bernilai syar’i dan berkaitan dengan ajaran doktrin agama ketika melaksanakan ritual atau slamaten dalam pola kehidupan keagamaan mereka. Kepercayaan kaum Abangan yang kolot menyebabkan kelompok masyarakat ini tidak bisa meninggalkan sinkretisme dalam kehidupan mereka. Bahkan kehidupan mereka sudah mendarah daging sebagai tipologi Islam sinkretik yang menjadikan percampurnaan ritual dalam nilai Jawa (pengaruh Hindu-Budha) dengan Islam murni. Apalagi menurut Geertz, posisi Islam murni tampak lemah ketika berhadapan dengan Islam sinkretik yang dalam penelitian ini menjadi petunjuk semakin meluasnya toleransi pemurnian Islam atas Islam sinkretik sebagai representasi kebudayaan lokal.
Di situlah kaum Abangan tetap berkibar dengan sinkretiknya walaupun mereka menyadari bahwa kepercayaan itu bertentangan dengan ajaran Islam murni. Kalaupun kaum Abangan yang merepresentasikan petani menerima Islam murni, hal itu disebabkan oleh diubahnya pola keagamaan gerakan ini oleh elite lokal sehingga lebih sesuai dengan petani yang sinkretik. Dari sini, tipologi hubungan Islam dan budaya lokal dalam proses penyebaran Islam ke Nusantara dapat dijadikan model perluasan Islam murni ke pedesaan yang membentuk empat formasi sosial sepanjang kontinum dua kutub Islam murni dan Islam sinkretik, yaitu Islamisasi, pribumisasi, negosiasi, dan konflik atau koeksistensi.
Varian Abangan sebagai bagian dari kelompok keagamaan dalam masyarakat Jawa tentu saja semakin menarik untuk diteliti. Apalagi ketergantungan masyarakat pedesaan terhadap usaha tani menjadikan masyarakat ini merupakan pengemban dan pelestari sinkretisme paling konsisten lebih dari masyarakat perkotaan yang bukan petani. Karena itu, mungkin akan muncul dua varian pola keagamaan yaitu fundamentalis atau puritan dan perpaduan Islam murni di satu pihak dan Islam sinkretik di pihak lain. Bagi Mensching, ketergantungan petani atas sinkretisme menyebabkan mereka tidak mungkin berhubungan dengan Islam murni kecuali diinovasi (bid’ah) dalam bentuk sinkretisasi Islam murni dan tradisi keagamaan petani yang bersifat magis.
Terlepas dari kepercayaan-kepercayaan sinkretis yang melekat dalam perilaku keagamaan kaum Abangan, ternyata kelompok masyarakat yang disebut oleh Clifford Geertz sebagai ”abangan” secara moral-psikis juga menjadi makmum terhadap ketokohan kiai. Maklum saja, kaum Abangan mayoritas hidup di pedesaan yang bekerja sebagai petani dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak bisa lepas dari sentuhan dan arahan kiai. Meskipun kaum Abangan tidak begitu gencar membantu kiai dalam melawan pemerintahan kolonial, keberadaan Abangan tetap dianggap sebagai penganut Islam yang mempertahankan tradisi lokal. Di tengah-tengah kehidupan kaum Abangan, kiai begitu mudah memobilisasi massa, kemudian menempati baris terdepan dalam mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda dan Jepang maupun raja-raja tiran (antek-antek kaum imperialis). Bahkan, Sartono Kartodirjo mengemukakan bahwa sejak kolonialisme datang ke Indonesia hingga masa imperialisme, peran efektif kiai begitu dominan dalam menanamkan sikap permusuhan dan agresif terhadap orang asing dan pribumi yang menjadi birokrat kolonial.
Perilaku kehidupan kaum Abangan yang kurang taat terhadap doktrin dan ajaran agama, tidak lantas membuat figur kiai gerah dengan kepercayaan sinkretik yang mereka anut selama ini. Figur kiai sangat memaklumi karena Islam hadir di tengah kehidupan masyarakat yang sudah memiliki kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme maupun Hindu-Budha. Dalam situasi keagamaan yang cepat berkembang, pesantren yang menjadi elan vital bagi kiai untuk memperjuangkan penyebaran dakwah Islam, juga sering menuai stigma negatif maupun persepsi miring yang dianggap sebagai bagian kaum Abangan karena masih dalam katagori konservatif atau kolot. Sebutan orang-orang pesantren sebagai orang Islam “kolot” tak pelak menjadi santapan ringan yang selalu menghiasi dinamika perkembangan lembaga pendidikan Islam ini.
Geertz berpendapat bahwa salah satu sifat kekolotan itu ialah penerimaan mereka terhadap elemen-elemen sinkretis yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi lucunya identifikasi tentang Islam kolot sama dengan apa yang Geertz simpulkan tentang ciri khas Abangan yang merupakan campuran darpada kehidupan keagamaan yang bersifat animistis, Hindu-Budha, dan Islam. Kita dapat membaca kesimpangsiuran tersebut dalam analisis Alan Samson yang menggambarkan wajah Islam kolot di Jawa sebagai penganut suatu sistem keagamaan yang berdasarkan campuran antara elemen-elemen animisme, Hindu-Budha, dan Islam, sama dengan wajah keagamaan orang Abangan. Sangat jelas bahwa Alan Samson hanya sekadar menegaskan kesimpangsiuran Geertz tentang sifat-sifat abangan dan Islam kolot.
Dalam penelitian lainnya, Geertz mencoba membandingkan bagaimana perkembangan Islam di Jawa dan di Maroko. Geertz mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia secara sistematis berkembang terjadi pada abad ke-14, berbarengan dengan suatu kebudayaan besar yang telah menciptakan suatu sistem politik, nilai-nilai estetika, dan kehidupan sosial keagamaan yang sangat maju, yang dikembangkan langsung oleh kerajaan Hindu-Budha di Jawa, yang dianggap mampu menanamkan akar kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Bahkan, bila dibandingkan dengan Islam di India, Islam di Indonesia, menurut Geertz, demikian sangat lemah, tak berakar dan bersifat sementara, sinkretis, dan berwajak plural. 

Islam Priyayi: Representasi Muslim Aristokrasi
Varian terakhir dari tipologi muslim Jawa adalah kalangan Priyayi yang oleh Geertz diasumsikan sebagai kaum elite atau golongan bangsawan yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Golongan Priyayi awalnya hanya diistilahkan bagi kalangan aristokrasi turun temurun yang oleh Belanda diambil dengan mudah dari raja-raja Jawa yang ditaklukkan untuk kemudian diangkat sebagai pejabat sipil yang digaji. Elite pegawai ini, yang ujung akar-akarnya terletak pada kraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket kraton yang sangat halus, kesenian yang sangat komleks dalam tarian, sandiwara, musik, sastra, dan mistisme Hindu-Budha.
Sebagai bagian dari tipologi keagamaan dalam masyarakat Jawa, kaum Priyayi tentu saja sangat dipengaruhi oleh kehidupan aristokrasi pada masa kolonial. Sementara titik utama orientasi kehidupan keagamaan kaum Priyayi adalah etiket seni dan praktik mistis yang bercorak Hinduisme. Tidak heran bila mereka tidak menekankan pada elemen animistis dari sinkretisme Jawa yang serba melingkupi seperti kaum Abangan, tidak pula menekankan pada elemen Islam sebagaimana kaum Santri, tetapi menitikberatkan pada elemen Hinduisme. Corak yang demikian tidak bisa dilepaskan dari pola kehidupan kaum Priyayi, yang secara langsung berafisiliasi dengan struktur sosial yang termasuk golongan pegawai birokrasi.
Pengaruh kultur keraton juga sangat kuat seiring dengan berbaurnya kelompok ini dengan raja-raja pribumi yang waktu itu dibayang-bayangi oleh penjajahan Belanda. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa yang menguasasi pemerintahan. Sebagaimana halnya keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya. Secara tidak langsung kaum Priyayi telah berafiliasi dengan kolonial Belanda, karena mereka banyak menduduki posisi strategis untuk membantu misi penjajahan.
Situasi ini membuat mengakibatkan kultur kraton yang tradisional makin diperlemah oleh kolonial, karena kaum Priyayi dicomot dari kerajaan pribumi yang dipekerjakan sebagai instrumen adimistrasi kekuasaan kolonial. Meski demikian, varian Priyayi tidak saja tetap kuat bertahan di kalangan anasir masyarakat yang lebih konservatif, tetapi juga memainkan peranan penting dalam membentuk pandangan dunia (world view), etika dan tingkah laku sosial anasir yang bahkan paling diperbarat dalam kelompok pegawai yang masih dominan itu. Tidak heran bila sikap sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisme intuitif masih dianggap sebagai karakteristik utama elite jawa ini. Dan sekalipun sudah makin memudar dan mengalami adaptasi dengan keadaan yang sudah berubah, gaya hidup (life style) Priyayi masih tetap jadi model tidak saja untuk kalangan elite, tapi dengan berbagai jalan juga menjadi model bagi seluruh masyarakat.
Terkait dengan kepercayaan agama di kalangan Priyayi, sesungguhnya cukup beragam sesuai dengan suatu tradisi yang mewarnai varian dari sistem agama orang Jawa ini. Pertama, ada priyayi yang secara aktif melibatkan diri dalam agama Islam, yang biasa disebut dengan priyayi santri. Biasanya mereka terdiri dari atas orang-orang lanjut usia dan ketaatan mereka terhadap agama dapat diungkapkan dalam mistik atau dengan jalan menekuni tulisan-tulisan tentang Islam. Kedua, ada priyayi yang tidak begitu menghiraukan Islam, yang biasa disebut dengan priyayi abangan. Sebagian dari mereka bahkan sama sekali tidak mempedulikan agama, mereka mungkin atheis atau agnostik meskipun tidak banyak golongan yang seperti itu. Sebaliknya, ada priyayi yang disebut abangan, akan tetapi sebenarnya mereka bukanlah orang-orang yang tidak beragama. Mereka mungkin saja memeluk agama leluhur mereka yang sangat kental dengan nilai-nilai mistis.
Terlepas dari orientasi keagamaan kaum Priyayi, varian ini juga turut membantu mengusir penjajahan dengan memberikan kesempatan kepada kaum santri untuk terlibat langsung dalam berbagai gerilya. Penyebaran Islam di Jawa bukan hanya dibantu oleh para ulama dan santri yang bermukim di pesantren, melainkan juga oleh kerajaan-kerajaan Islam yang turut serta dalam melancarkan proses islamisasi. Memang harus diakui pada masa penjajahan Belanda, proses Islamisasi tidak berjalan mudah karena selalu mendapatkan pertentangan dan hambatan langsung dari pemerintahan kolonial Belanda sehingga proses pemantapan keislaman agar menjadi muslim yang taat sedikit mengalami jalan terjal.
Sementara kalangan bangsawan dan kaum priyayi tidak banyak melakukan tindakan untuk membantu proses pemantapan ketaatan masyarakat kepada ajaran Islam, karena di samping menghadapi pembatasan, mereka juga mendapatkan ancaman dari kekuasaan Belanda yang dikenal sangat kejam terhadap kalangan rakyat jelata.
Sebagai bagian dari tipologi masyarakat Jawa, keengganan kaum priyayi untuk melakukan pemantapan keimanan terhadap ajaran Islam patut dipertanyakan, karena mereka juga merupakan kalangan Islam modern yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Sejauh Islam dianggap antikolonial, kaum priyayi lebih cenderung untuk mengembangkan pola kehidupan keagamaan yang lebih bersifat kejawen daripada memilih menjadi santri.
Ketakutan Belanda kepada orang-orang yang cenderung condong kepada Islam mempengaruhi struktur dan kesempatan dalam administrasi kepegawaian pribumi. Semisal pada waktu seorang patih yang dilaporkan menghina Islam oleh Belanda kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi bupati, maka hal ini menjadi pelajaran yang jelas bagi teman-temannya.
2. Pengertian sinkritisme
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal yang agak berbeda dan bertentangan. Adapun seorang tokoh Aliran Kepercayaan, Simuh, menambahkan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Oleh karena itu, mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dijadikannya sebagai satu aliran, sekte, dan bahkan agama.   

Sinkretisme berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan yang signifikan antara beberapa paham yang berlainan. Paham di sini bisa berupa aliran, kepercayaan, bahkan agama. Secara gamblang bisa dikatakan bahwa paham ini adalah usaha pluralisme agama. Sebut saja begini, agama-agama yang berlainan di Indonesia ini; Hindu Budha, Kristen, Katolik dan Islam bertentangan ajarannya, kemudian dicarilah dari masing-masing agama perbedaan yang mencolok yang berpotensi
menimbulkan perpecahan dan ketidaktoleran, dari situlah perbedaan itu akan dilebur dan disatukan kembali menjadi sesuatu yang satu dan utuh, ‘Semua Agama Benar’.
Untuk lebih mengkongkritkan pengertian dan pemahaman tentang masalah sinkretisme, berikut ini diuraikan beberapa contoh:



A. Penggabungan dua agama atau aliran atau lebih

Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayan (lokal Jawa) dengan ajaran agama Islam dan agama lainnya.Sebagai contoh dari langkah ini adalah ajaran Ilmu Sejati yang diciptakan oleh Raden Sujono alias Prawirosudarso, yang berasal dari Madiun. Menurut pengakuannya, ajaran Ilmu Sejati diasaskan pada kesucian yang dihimpun dari ajaran Islam, Kristen, dan Budha. Dan apabila ajaran tersebut diteliti dengan seksama, akan terlihat bahwa pengakuannya tidak salah. Sebagai contoh, aliran ini mengajarkan sadat (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut: “Ashadu Allah ananingsun, anane ambekan, anane rasul, anane johar. Wa ashadu anane urip, anane mukamad, anane nur, nur tegese padhang, johar tegese padhang, mukamad lan rasul iku tegese cahya, nur johar tegese padhang”.

 B. Bidang ritual

Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan crisis rites dan rites de passage, yaitu upacara peralihan yang berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat dan sebagaimya. Begitu pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk slametan yang berkait dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, menanam dan memanen padi, serta penghormatan terhadap roh para leluhur dan roh halus. Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran Islam. Maka terjadilah islamisasi Jawaisme (keyakinan dan budaya Jawa).


C. Upacara brokohan dan sepasaran

Dalam Islam, ketika seorang bayi lahir, ayah ibunya disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah, dengan menyembelih seekor kambing kalau yang dilahirkan perempuan, dan dua ekor kambing kalau yang dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan menunjukkan masyarakat muslim Jawa tidak melaksanakan perintah ini. Sebagai gantinya mereka mengadakan upacara brokohan (diadakan setelah bayi lahir ke dunia ni dengan selamat) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima hari), dengan harapan dan doa, agar anak yang dilahirkan tersebut akan menjadi orang linuwih di kemudian hari.

        D.  Dalam doa dan mantera

Salah satu jasa Sunan Makhdum Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan Bonang, dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama dewa-dewa yang terdapat dalam mantera-mantera dan doa dengan nama nabi, malaikat, dan tokoh-tokoh terkenal di dalam Islam. Dengan cara ini diharapkan masyarakat berpaling dari memuja dewa-dewa dengan menggantinya dengan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Islam.

 E. Menggabungkan agama dengan budaya local

Yang dimaksud dalam konteks ini adalah melaksanakan syari’at Islam dengan kemasan budaya Jawa. Berbakti kepada orang tua adalah wajib. Dalam melaksanakan syari’at ini masyarakat Jawa biasanya menggunakan media sungkem. Begitu pula dalam rangka memperingati Idul Fitri, masyarakat menyiapkan hidangan kupat dan lontong. Secara keratabasa, ‘kupat’ dapat diartikan ngaku lepat. Sedangkan lontong dapat diartikanolone kothong.

Menurut pandangan saya sinkritisme boleh saja asal tidak melenceng dari syariat islam, karena islam adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia di dunia. Dan islam juga memperhatikan adat setempat.