Proses dan Alat
Pengawetan Bahan Nabati Dan Hewani
Disusun oleh :
M. Salman Alfarizi
X MS 3
SMA NEGERI 3 SLAWI
Proses dan Alat Pengawetan Bahan Nabati dan Hewani
Secara umum, bahan hasil pertanian, peternakan,
dan perikanan setelah dipanen akan mudah mengalami kerusakan sehingga terjadi
penurunan mutu. Untuk menjaga kualitas bahan pangan dan produknya, maka bahan
pangan tersebut perlu dilakukan pengolahan dan pengawetan. Ada beberapa metode
peng- awetan pangan yaitu dengan cara menonaktifkan, menghambat dan mencegah
faktor-faktor penyebab kerusakan pangan. Setiap metode pengawetan pangan hanya
akan berhasil jika mekanisme peng- awetannya tepat dan sesuai. Bahan pangan
hasil pertanian masing-masing mempunyai sifat-sifat yang berbeda-beda yang
penting untuk diketahui untuk digunakan sebagai dasar saat proses penanganan
dan pengolahan.
Dengan mengetahui sifat setiap bahan pangan, diharapkan proses penanganan dan pengolahan akan tepat dan sesuai. Beberapa metode untuk pengawetan bahan pangan adalah sebagai berikut.
Dengan mengetahui sifat setiap bahan pangan, diharapkan proses penanganan dan pengolahan akan tepat dan sesuai. Beberapa metode untuk pengawetan bahan pangan adalah sebagai berikut.
1. Pengawetan
dengan Suhu Rendah
Salah satu proses usaha untuk mengawetkan
adalah dengan menyimpan bahan makanan di dalam lemari pendingin yaitu kulkas
atau freezer (pembeku). Lemari pendingin memiliki suhu
yang rendah. Umumnya yang dimaksud dengan suhu rendah ini berkisar antara -2°C
sampai 8°C. Cara pengawetan pangan dengan suhu rendah ada 2 macam yaitu pendi- nginan (cooling)dan pembekuan (freezing). Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari
dalam lemari es pada umumnya mencapai suhu 5 sampai 8 C atau -2 sampai 8 C.
Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku. Pembekuan
yang baik biasanya dilakukan pada suhu -12 sampai -24 C. Pembekuan cepat (quick
freezing) dilakukan pada suhu -24 sampai -40 C.
Buah-buahan dan
sayur-sayuran juga memerlukan suhu penyimpanan tertentu. Suhu di mana produk
mempunyai keawetan yang paling lama disebut suhu optimum. Jika
penyimpanan dilakukan di bawah suhu optimum, atau di tempat yang terlalu
dingin, buah-buahan dan sayur-sayuran akan mengalami kerusakan fisik yang
sering disebut chilling injury. Apabila penyimpanan buah dan sayuran
dilakukan di atas suhu optimum, atau pada suhu yang terlalu hangat, juga tidak
akan menghasilkan keawetan.
2. Pengawetan
dengan Suhu Tinggi
Pengawetan dengan suhu panas sebenarnya sudah
lama digunakan, sejak manusia dikenalkan dengan istilah memasak. Saat kamu
memasak, misalnya merebus atau menggoreng suatu bahan makanan, sebenarnya kamu
sedang melakukan proses pengawetan dengan suhu panas. Tetapi seringkali kita
tidak mengetahui batasan pemanasan yang dilakukan terhadap makanan.
Jika pemanasannya tidak tepat, maka akan banyak nilai gizi yang
hilang dari makanan yang dimasak tersebut. Pemanasan yang baik adalah
secukupnya agar nilai gizi yang hilang tidak terlalu banyak. Dua faktor yang
harus diperhatikan dalam pengawetan dengan panas, yaitu sebagai berikut.
1) Jumlah panas
yang diberikan harus cukup untuk mematikan mikroba
pembusuk dan
mikroba pathogen.
2) Jumlah panas
yang digunakan tidak boleh menyebabkan penurunan gizi dan cita rasa makanan.
Jumlah panas
yang diberikan dalam proses pengolahan pangan tidak boleh lebih dari jumlah
minimal panas yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba yang dimaksud. Dalam
proses pemanasan, ada hubungan antara panas dan waktu, yaitu jika suhu yang
digunakan rendah, maka waktu pemanasan harus lebih lama. Jika suhu tinggi,
waktu pemanasan singkat. Sebagai contoh:
misalnya jumlah panas yang diterima bahan jika kita memanaskan selama 10 jam di dalam air mendidih (100 C) kira-kira sama dengan memanaskan bahan tersebut selama 20 menit pada suhu 121 C. Berdasarkan penggunaan suhu, waktu dan tujuan pemanasan, proses pemanasan dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu proses pasteurisasi dan sterilisasi.
misalnya jumlah panas yang diterima bahan jika kita memanaskan selama 10 jam di dalam air mendidih (100 C) kira-kira sama dengan memanaskan bahan tersebut selama 20 menit pada suhu 121 C. Berdasarkan penggunaan suhu, waktu dan tujuan pemanasan, proses pemanasan dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu proses pasteurisasi dan sterilisasi.
a.Sterilisasi
Istilah sterilisasi berarti membebaskan bahan
dari semua mikroba. Karena beberapa spora bakteri relatif lebih tahan
terhadap panas. Maka sterilisasi biasanya dilakukan pada suhu yang tinggi
misalnya 121 C (250 F) selama 15 menit. Pada makanan dikenal istilah
sterilisasi komersial. Sterilisasi komersial adalah sterilisasi yang biasanya dilakukan
terhadap sebagian besar pangan di dalam kaleng atau botol. Makanan yang
steril secara komersial berarti semua mikroba penyebab penyakit dan pembentuk
racun (toksin) dalam makanan tersebut telah dimatikan, demikian juga semua
mikroba pembusuk. Dengan demikian, produk pangan yang telah mengalami
sterilisasi akan mempunyai daya awet yang tinggi; beberapa bulan sampai
beberapa tahun.
b. Pasteurisasi
Pasteurisasi
adalah suatu proses pemanasan yang relatif cukup rendah (umumya dilakukan di
bawah 100 C) dengan tujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk
sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan mempunyai daya awet
beberapa hari (misalnya produk susu pasteurisasi) sampai beberapa bulan
(misalnya produk sari buah pateurisasi). Walaupun proses ini hanya mampu
membunuh sebagian populasi mikroorganisme, namun pasteurisasi ini sering
diaplikasikan terutama jika dikhawatirkan bahwa penggunaan panas yang lebih
tinggi akan menyebabkan terjadinya kerusakan mutu (misalnya pada susu).
Tujuan utama proses pemanasan hanyalah untuk membunuh mikro-organisme pathogen (penyebab penyakit; misalnya pada susu) atau inaktivasi (menghentikan aktivitas) enzim-enzim yang dapat merusak mutu (misalnya pada sari buah).
Makanan yang dipasteurisasi tidak dapat menyebabkan penyakit tetapi mempunyai masa simpan yang terbatas disebabkan mikroba nonpatogen dan pembusuk masih ada dan dapat berkembang biak. Oleh karena itu pasteurisasi biasanya disertai dengan cara pengawetan lain, misalnya makanan yang dipasteurisasi kemudian disimpan dengan cara pendinginan (di dalam lemari pendingin).
Tujuan utama proses pemanasan hanyalah untuk membunuh mikro-organisme pathogen (penyebab penyakit; misalnya pada susu) atau inaktivasi (menghentikan aktivitas) enzim-enzim yang dapat merusak mutu (misalnya pada sari buah).
Makanan yang dipasteurisasi tidak dapat menyebabkan penyakit tetapi mempunyai masa simpan yang terbatas disebabkan mikroba nonpatogen dan pembusuk masih ada dan dapat berkembang biak. Oleh karena itu pasteurisasi biasanya disertai dengan cara pengawetan lain, misalnya makanan yang dipasteurisasi kemudian disimpan dengan cara pendinginan (di dalam lemari pendingin).
c. Blanching
Blanching adalah pemanasan pendahuluan yang
biasanya dilakukan terhadap buah-buahan dan sayur-sayuran untuk menginaktifkan
enzim-enzim di dalam bahan pangan tersebut, di antaranya adalah enzim katalase
dan peroksidase yang merupakan enzim-enzim yang paling tahan panas di dalam
sayur-sayuran. Blanching selalu dilakukan jika bahan pangan akan dibekukan
karena pembekuan tidak dapat menghambat keaktifan enzim dengan sempurna. Bergantung
pada panas yang diberikan, blanching juga dapat mematikan beberapa mikroba.
Blanching biasanya dilakukan pada
d. Sterilisasi
Produk secara Sinambung
(Proses Aseptis) Pada prinsipnya, proses
sterilisasi dapat dilakukan dengan berbagai kombinasi suhu dan waktu. Jika
digunakan suhu yang lebih tinggi, waktu sterilisasinya makin pendek.
Diketahui bahwa kombinasi suhu yang lebih tinggi dan waktu pendek ini dapat
memberikan keuntungan berupa mutu produk yang lebih baik. Karena itulah, muncul
konsep sterilisasi High Temperatur Short Time (HTST) dan Ultra High Temperature
(UHT). Pada kondisi ini, sterilisasi dilakukan pada suhu 130-145 C tetapi hanya
dalam beberapa detik saja. Karena itu, diperlukan peralatan pemanasan yang
mampu men- capai suhu tersebut dan sekaligus secara cepat mampu mendinginkannya
kembali. Pada sistem aseptik ini, dilakukan proses sterilisasi produk pangan
dan bahan pengemas (wadah) secara terpisah. Pengisisan produk dilakukan setelah
wadah dan produk terlebih dahulu disterilisasikan sehingga untuk mempertahankan
sterilitas produk dan wadah, proses pengisian harus dilakukan pada ruangan yang
steril. Karena itulah, proses pengisian dan pengemasan dengan cara ini disebut
sebagai proses pengemasan aseptik karena memang diperlukan kondisi yang aseptik.
3. Pengawetan
dengan Pengeringan
Saat petani padi tiba waktunya untuk memanen
hasil bertaninya, pernahkan kamu melihat hal apa yang dilakukan petani tersebut
dengan padi hasil panennya? Pernahkah kamu melihat petani tersebut menjemur
padi di bawah sinar matahari? Itulah salah satu contoh proses pengeringan.
Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian
air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan
energi panas. Biasanya kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai
suatu batas agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya. Keuntungan
produk hasil pengeringan adalah awet, lebih ringan, volume lebih kecil sehingga
memudahkan penyimpanan dan transportasi, serta menimbulkan citarasa khas.
Selain itu, banyak bahan yang hanya dapat digunakan apabila telah dikeringkan,
misalnya tembakau, kopi, teh, biji-bijian, dan lain- lainnya. Pengeringan
dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan secara merata, dan uap air
dikeluarkan dari seluruh permukaan bahan tersebut. Faktor-faktor yang
memengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan bahan, suhu pengeringan,
aliran udara, dan tekanan uap di udara. Pengeringan dapat dilakukan dengan
menggunakan suatu alat pengering (articial drier), atau dengan penjemuran (sun drying),
yaitu pengeringan dengan menggunakan energi langsung dari sinar matahari.
Pengeringan buatan (articial drying) mempunyai
keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan
dapat ditentukan dengan tepat dan kebersihan dapat diawasi sebaik-baiknya.
Penjemuran mempunyai keuntungan karena energi panas yang digunakan murah dan
bersifat murah serta melimpah, tetapi kerugiannya adalah jumlah panas sinar
matahari yang tidak tetap sepanjang hari, dan kenaikan suhu tidak dapat diatur
sehingga waktu penjemuran sukar untuk ditentukan dengan tepat. Selain itu,
karena penjemuran dilakukan di tempat terbuka yang langsung berhubungan dengan
sinar matahari, kebersihannya harus diawasi dengan sungguh-sungguh. Kadar
air suatu bahan yang dikeringkan memengaruhi seberapa jauh penguapan dapat
berlangsung, lamanya proses pengeringan dan jalannya proses pengeringan.
4. Pengawetan
dengan Bahan Kimia
Pengawetan bahan pangan dapat juga dilakukan
dengan melakukan penambahan bahan kimia tertentu, yang telah diketahui memiliki
efek mengawetkan. Penggunaan bahan kimia untuk pengawet harus digunakan dalam
takaran yang tepat dan sesuai dengan ketentuan agar aman bagi manusia.Pemberian
Asam, Asam dapat menurunkan pH makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan
bakteri pembusuk. Asam dapat dibagi dalam 3 golongan yaitu:
(1) asam alami
yang pada umumnya adalah asam organik misalnya asam tartrat dan asam dari
buah-buahan, misalnya asam sitrat seperti yang terdapat pada jeruk nipis dan
belimbing wuluh;
(2) asam yang
dihasilkan melalui proses fermentasi, misalnya asam laktat dan asam asetat; dan
(3) asam-asam
sintetik, misalnya asam malat, asam fosfat, dan asam adipat. Cuka adalah asam
sintetik yang dapat kita temui sehari-hari.
0 komentar:
Posting Komentar