Perubahan
sosial budaya adalah
sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola
budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum
yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi
sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan
perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan
penyebab dari perubahan.
Perubahan
sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di
antaranya komunikasi; cara dan pola pikir
masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan
baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana
alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Lebih terinci, faktor penyebabnya adalah:
1.
Adanya perubahan dari dalam masyarakat itu sendiri, seperti:
a. Perubahan
penduduk
b. Perana nilai
yang diubah
c. Faktor
adanya penemuan-penemuan baru
2. Adanya perubahan luar masyarakat, seperti:
a. Pengaruh lingkungan
alam
b. Kebudayaan
masyarakat lain
c. Adanya gaya
hidup barat yang masuk
Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya
perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat
lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional;
ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat;
prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan
pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat
atau kebiasaan.
Dalam dinamika masyarakat, selain terdapat faktor-faktor yang dapat
mendorong bagi berlangsungnya proses perubahan sosial, juga terdapat
faktor-faktor yang dapat menghalangi atau menghambatnya. Adapun faktor-faktor
yang diperkirakan dapat menghambat atau menghalangi bagi terjadinya proses
perubahan sosial tersebut antara lain:
1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lambat
Salah satu aspek pendorong terjadinya perubahan sosial
budaya adalah majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Majunya perkembangan iptek menjadi indikator pula majunya taraf perkembangan
budaya suatu masyarakat. Sementara maju dan tingginya taraf peradaban suatu
masyarakat menyebabkan masyarakat tersebut akan cepat atau mudah mengadakan
adaptasi (penyesuaian) terhadap munculnya perubahan-perubahan yang datang dari
luar masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, apabila di dalam suatu
masyarakat terjadi hal yang sebaliknya, yakni mengalami kelambanan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya, maka akan menyebabkan
terhambatnya laju perubahan-perubahan sosial budaya pada masyarakat yang
bersangkutan.
2. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
Adanya kehidupan masyarakat yang tertutup, hingga
menyebabkan setiap warganya sulit untuk melakukan kontak atau hubungan dengan
masyarakat lain, menyebabkan warga masyarakat tersebut terasing dari dunia
luar. Akibatnya, bahwa masyarakat tersebut tidak dapat mengetahui
perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain di luarnya.
Jika hal tersebut tetap berlangsung, atau bahkan tidak sepanjang masa maka akan
menyebabkan kemunduran bagi masyarakat yang bersangkutan, sebab mereka tidak
memperoleh masukan-masukan misalnya saja pengalaman dari kebudayaan lain, yang
dapat memperkaya bagi kebudayaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, faktor
ketertutupan atau kurangnya hubungan dengan masyarakat atau kebudayaan lain,
menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat atau menghalangi bagi proses
perubahan sosial dan budaya di dalam masyarakat.
3. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan
Adanya kekhawatiran di kalangan masyarakat akan
terjadinya kegoyahan seandainya terjadi integrasi di antara berbagai
unsur-unsur kebudayaan, juga menjadi salah satu faktor lain terhambatnya suatu
proses perubahan sosial budaya. Memang harus diakui bahwa tidak mungkin suatu
proses integrasi di antara unsur-unsur kebudayaan itu akan berlangsung secara
damai dan sempurna, sebab biasanya unsur-unsur dari luar dapat menggoyahkan
proses integrasi tersebut, serta dapat menyebabkan pula terjadinya
perubahan-perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat.
4. Adat dan kebiasaan
Setiap masyarakat di manapun tempatnya, pasti memiliki
adat serta kebiasaan tertentu yang harus ditaati dan diikuti oleh seluruh
anggotamasyarakat. Adat dan kebiasaan adalah seperangkat norma-norma (aturan
tidak tertulis) yang berfungsi sebagai pedo-man bertingkah laku bagi seluruh
anggota masyarakat. Adat biasanya berisi pola-pola perilaku yang telah diyakini
dan diterima oleh masyarakat secara turun-temurun, bersifat kekal (abadi), dan
oleh karena itu harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat, serta bersifat
mengikat. Artinya, apabila ada sebagian anggota masyarakat yang tidak
mengindahkan aturan adat maka akan mendapat sanksi yang berat baik sanksi moral
maupun sosial dari masyarakat. Sedangkan kebiasaan adalah perbuatan yang pantas
dikerjakan maka diterima oleh masyarakat. Karena pantas dikerjakan dan telah
diterima oleh masyarakat, maka kebiasaan menjadi perilaku yang diulang-ulang
dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya (secara turun-temurun) sehingga
menjadi semacam aturan (norma) yang harus diikuti oleh setiap anggota
masyarakat. Meskipun tidak sekuat adat, norma kebiasaan juga memiliki daya
pengikat tertentu yang dapat menyebabkan setiap anggota berperilaku sesuai
dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Dengan demikian dapatlah dibayangkan bahwa apabila
dalam masyarakat tersebut muncul nilai (budaya) serta kebiasaan-kebiasaan baru
yang akan menggeser kebiasaan-kebiasaan lama, apalagi sampai menggeser adat
kebiasaan yang selama ini telah menjadi pedoman serta aturan yang dipegang
teguh secara turun-temurun, maka nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru tersebut
akan ditentang, atau bahkan ditolaknya. Misalnya nilai-nilai baru di masyarakat
yang mengatakan bahwa upacara hajatan dapat dilaksanakan kapan saja, karena
pada hakikatnya semua hari dan bulan itu baik sekalipun dilaksanakan di bulan
Suro (Muharram). Sedangkan di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Jawa
ada semacam keyakinan yang telah dipegang teguh karena telah menjadi adat
kebiasaan secara turun-temurun, ialah bahwa menyelenggarakan acara hajatan di
bulan Suro adalah suatu pantangan (dilarang), sebab jika dilaksanakan akan
mendatangkan mara bahaya (bencana), khususnya bagi mereka yang tetap
menyelenggarakannya. Dengan demikian, di kalangan masyarakat Jawa yang percaya
serta memegang secara teguh tradisi serta adat kebiasaan semacam itu, tentu
akan mengalami kesulitan untuk bisa merubah keyakinan yang telah mendarah
daging itu, meskipun dari luar angin perubahan telah bertiup dengan kencangnya.
5. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat (vested interests)
Dalam setiap organisasi sosial yang mengenal sistem
berlapis-lapisan, pasti akan ada sekelompok orang-orang yang menikmati
kedudukan dalam suatu proses perubahan. Pada masyarakat-masyarakat yang sedang
mengalami masa transisi, misalnya saja dari otoritarianisme ke sistem demokrasi
biasanya terdapat segolongan orang-orang yang merasa dirinya berjasa atas
terjadinya perubahan-perubahan. Pada segolongan masyarakat yang berjasa itu
biasanya akan selalu mengidentifikasikan diri dengan usaha serta jasa-jasanya
tersebut, sehingga sulit sekali bagi mereka untuk melepaskan kedudukan yang
baru diperolehnya itu dalam suatu proses perubahan. Hal inilah yang juga dirasa
menjadi salah satu faktor penghalang berikutnya bagi jalannya suatu proses
perubahan.
6. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap tertutup
Adanya sikap semacam itu, misalnya dapat saja dialami
oleh suatu masyarakat (bangsa) yang pada masa lalunya pernah mengalami
pengalaman pahit selama berinteraksi dengan masyarakat (bangsa) lainnya di
dunia. Sebut saja misalnya pada masyarakat-masyarakat yang dahulunya pernah
mengalami proses penjajahan oleh bangsa lain, seperti bangsa-bangsa di kawasan
Asia dan Afrika oleh penjajahan bangsa Barat. Mereka tidak akan melupakan begitu
saja atas berbagai pengalaman pahit yang pernah diterimanya pada masa lalu, dan
hal tersebut ternyata berdampak pada munculnya kecurigaan di kalangan
bangsa-bangsa yang pernah dijajah itu terhadap sesuatu atau apa-apa yang datang
dari barat. Selanjutnya, karena secara kebetulan unsur-unsur baru yang masuk
itu juga kebanyakan berasal dari negara-negara barat, maka prasangka-prasangka
(negatif) juga tetap ada, terutama akibat rasa kekawatiran mereka akan
munculnya penjajahan kembali yang masuk melalui unsur-unsur budaya tersebut.
Dengan demikian munculnya prasangka serta adanya sikap menolak terhadap
kebudayaan asing juga akan menjadi salah satu faktor penghambat lain bagi
jalannya proses perubahan sosial budaya suatu masyarakat.
7. Nilai bahwa hidup ini buruk dan tidak mungkin dapat diperbaiki
Di kalangan masyarakat terdapat kepercayaan bahwa
hidup di dunia itu tidak perlu ngoyo (terlalu berambisi) sebab baik buruknya
suatu kehidupan (nasib/takdir) itu sudah ada yang mengatur, oleh karena itu
harus dijalaninya secara wajar. Sementara jika manusia diberikan kehidupan yang
jelek, maka harus diterimanya pula apa adanya (nrimo ing pandum) serta dengan
penuh kepasrahan karena memang nasib yang harus diterimanya demikian. Dengan
demikian manusia tidak perlu repot-repot berusaha, apalagi sampai ngoyo, karena
tidak ada gunanya sebab hasilnya pasti akan jelek, sebab sudah ditakdirkan
jelek. Adanya keyakinan dari masyarakat untuk selalu menerima setiap nasib yang
diberikan Tuhan kepada manusia dengan penuh kepasrahan, termasuk bila harus
menerima nasib (takdir) buruk, menyebabkan kehidupan masyarakat menjadi
bersifat pesimistis dan statis, atau bahkan fatalistik. Adanya pemahaman yang
keliru tentang nasib manusia itulah, sehingga di dalam masyarakat tidak muncul
dinamisasi, yang berarti tidak ada perubahan, atau jika ada perubahan maka hal
tersebut akan berjalan secara lambat.
8. Hambatan yang bersifat ideologis
Adanya faktor penghambat yang bersifat ideologis,
karena biasanya setiap usaha mengadakan perubahan-perubahan pada unsur-unsur
kebudayaan rohaniah, akan diartikan sebagai suatu usaha yang berlawanan dengan
ideologi masyarakat yang merupakan dasar bagi terciptanya integrasi dari
masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu faktor-faktor yang bersifat
ideologis akan tetap menjadi perintang bagi jalannya perubahan-perubahan.
9.Sikap
masyarakat yang sangat tradisional
Apabila di dalam masyarakat muncul suatu sikap
mengagung-agungkan akan tradisi masa lampau serta menganggap bahwa tradisi
tersebut secara mutlak tak dapat dirubah, maka sudah dapat dipastikan bahwa
pada masya-rakat tersebut akan mengalami hambatan-hambatan dalam proses
perubahan sosial budayanya. Keadaan tersebut akan menjadi lebih parah lagi
apabila golongan yang berkuasa dalam masyarakat juga berasal dari golongan yang
bersifat konservatif, yakni suatu golongan yang notabenenya adalah penentang
atau anti terhadap perubahan-perubahan.
Selain yang sudah disebutkan di atas, dilihat dari
segi intern (dari dalam masyarakat yang mengalami perubahan), terjadinya proses
perubahan sosial juga dapat terhambat oleh karena adanya faktor-faktor sebagai
berikut:
- Adanya sikap masyarakat yang ragu-ragu, bahkan curiga terhadap sesuatu yang baru yang dianggap dapat berdampak negatif.
- Adanya kecenderungan dari masyarakat untuk menyukai dan mempertahankan sesuatu hal yang lama.
- Kurangnya pengetahuan dan pendidikan masyarakat terhadap sesuatu yang baru.
Dalam dinamika masyarakat, selain terdapat faktor-faktor yang dapat
mendorong bagi berlangsungnya proses perubahan sosial, juga terdapat
faktor-faktor yang dapat menghalangi atau menghambatnya. Adapun faktor-faktor
yang diperkirakan dapat menghambat atau menghalangi bagi terjadinya proses
perubahan sosial tersebut antara lain:
1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lambat
Salah satu aspek pendorong terjadinya perubahan sosial budaya adalah majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Majunya perkembangan iptek menjadi indikator pula majunya taraf perkembangan budaya suatu masyarakat. Sementara maju dan tingginya taraf peradaban suatu masyarakat menyebabkan masyarakat tersebut akan cepat atau mudah mengadakan adaptasi (penyesuaian) terhadap munculnya perubahan-perubahan yang datang dari luar masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, apabila di dalam suatu masyarakat terjadi hal yang sebaliknya, yakni mengalami kelambanan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya, maka akan menyebabkan terhambatnya laju perubahan-perubahan sosial budaya pada masyarakat yang bersangkutan.
Salah satu aspek pendorong terjadinya perubahan sosial budaya adalah majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Majunya perkembangan iptek menjadi indikator pula majunya taraf perkembangan budaya suatu masyarakat. Sementara maju dan tingginya taraf peradaban suatu masyarakat menyebabkan masyarakat tersebut akan cepat atau mudah mengadakan adaptasi (penyesuaian) terhadap munculnya perubahan-perubahan yang datang dari luar masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, apabila di dalam suatu masyarakat terjadi hal yang sebaliknya, yakni mengalami kelambanan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya, maka akan menyebabkan terhambatnya laju perubahan-perubahan sosial budaya pada masyarakat yang bersangkutan.
2. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
Adanya kehidupan masyarakat yang tertutup, hingga menyebabkan setiap warganya sulit untuk melakukan kontak atau hubungan dengan masyarakat lain, menyebabkan warga masyarakat tersebut terasing dari dunia luar. Akibatnya, bahwa masyarakat tersebut tidak dapat mengetahui perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain di luarnya. Jika hal tersebut tetap berlangsung, atau bahkan tidak sepanjang masa maka akan menyebabkan kemunduran bagi masyarakat yang bersangkutan, sebab mereka tidak memperoleh masukan-masukan misalnya saja pengalaman dari kebudayaan lain, yang dapat memperkaya bagi kebudayaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, faktor ketertutupan atau kurangnya hubungan dengan masyarakat atau kebudayaan lain, menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat atau menghalangi bagi proses perubahan sosial dan budaya di dalam masyarakat.
Adanya kehidupan masyarakat yang tertutup, hingga menyebabkan setiap warganya sulit untuk melakukan kontak atau hubungan dengan masyarakat lain, menyebabkan warga masyarakat tersebut terasing dari dunia luar. Akibatnya, bahwa masyarakat tersebut tidak dapat mengetahui perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain di luarnya. Jika hal tersebut tetap berlangsung, atau bahkan tidak sepanjang masa maka akan menyebabkan kemunduran bagi masyarakat yang bersangkutan, sebab mereka tidak memperoleh masukan-masukan misalnya saja pengalaman dari kebudayaan lain, yang dapat memperkaya bagi kebudayaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, faktor ketertutupan atau kurangnya hubungan dengan masyarakat atau kebudayaan lain, menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat atau menghalangi bagi proses perubahan sosial dan budaya di dalam masyarakat.
3. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan
Adanya kekhawatiran di kalangan masyarakat akan terjadinya kegoyahan seandainya terjadi integrasi di antara berbagai unsur-unsur kebudayaan, juga menjadi salah satu faktor lain terhambatnya suatu proses perubahan sosial budaya. Memang harus diakui bahwa tidak mungkin suatu proses integrasi di antara unsur-unsur kebudayaan itu akan berlangsung secara damai dan sempurna, sebab biasanya unsur-unsur dari luar dapat menggoyahkan proses integrasi tersebut, serta dapat menyebabkan pula terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat.
Adanya kekhawatiran di kalangan masyarakat akan terjadinya kegoyahan seandainya terjadi integrasi di antara berbagai unsur-unsur kebudayaan, juga menjadi salah satu faktor lain terhambatnya suatu proses perubahan sosial budaya. Memang harus diakui bahwa tidak mungkin suatu proses integrasi di antara unsur-unsur kebudayaan itu akan berlangsung secara damai dan sempurna, sebab biasanya unsur-unsur dari luar dapat menggoyahkan proses integrasi tersebut, serta dapat menyebabkan pula terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat.
4. Adat dan kebiasaan
Setiap masyarakat di manapun tempatnya, pasti memiliki adat serta kebiasaan tertentu yang harus ditaati dan diikuti oleh seluruh anggotamasyarakat. Adat dan kebiasaan adalah seperangkat norma-norma (aturan tidak tertulis) yang berfungsi sebagai pedo-man bertingkah laku bagi seluruh anggota masyarakat. Adat biasanya berisi pola-pola perilaku yang telah diyakini dan diterima oleh masyarakat secara turun-temurun, bersifat kekal (abadi), dan oleh karena itu harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat, serta bersifat mengikat. Artinya, apabila ada sebagian anggota masyarakat yang tidak mengindahkan aturan adat maka akan mendapat sanksi yang berat baik sanksi moral maupun sosial dari masyarakat. Sedangkan kebiasaan adalah perbuatan yang pantas dikerjakan maka diterima oleh masyarakat. Karena pantas dikerjakan dan telah diterima oleh masyarakat, maka kebiasaan menjadi perilaku yang diulang-ulang dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya (secara turun-temurun) sehingga menjadi semacam aturan (norma) yang harus diikuti oleh setiap anggota masyarakat. Meskipun tidak sekuat adat, norma kebiasaan juga memiliki daya pengikat tertentu yang dapat menyebabkan setiap anggota berperilaku sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Setiap masyarakat di manapun tempatnya, pasti memiliki adat serta kebiasaan tertentu yang harus ditaati dan diikuti oleh seluruh anggotamasyarakat. Adat dan kebiasaan adalah seperangkat norma-norma (aturan tidak tertulis) yang berfungsi sebagai pedo-man bertingkah laku bagi seluruh anggota masyarakat. Adat biasanya berisi pola-pola perilaku yang telah diyakini dan diterima oleh masyarakat secara turun-temurun, bersifat kekal (abadi), dan oleh karena itu harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat, serta bersifat mengikat. Artinya, apabila ada sebagian anggota masyarakat yang tidak mengindahkan aturan adat maka akan mendapat sanksi yang berat baik sanksi moral maupun sosial dari masyarakat. Sedangkan kebiasaan adalah perbuatan yang pantas dikerjakan maka diterima oleh masyarakat. Karena pantas dikerjakan dan telah diterima oleh masyarakat, maka kebiasaan menjadi perilaku yang diulang-ulang dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya (secara turun-temurun) sehingga menjadi semacam aturan (norma) yang harus diikuti oleh setiap anggota masyarakat. Meskipun tidak sekuat adat, norma kebiasaan juga memiliki daya pengikat tertentu yang dapat menyebabkan setiap anggota berperilaku sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Dengan demikian dapatlah dibayangkan bahwa apabila dalam masyarakat
tersebut muncul nilai (budaya) serta kebiasaan-kebiasaan baru yang akan
menggeser kebiasaan-kebiasaan lama, apalagi sampai menggeser adat kebiasaan
yang selama ini telah menjadi pedoman serta aturan yang dipegang teguh secara
turun-temurun, maka nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru tersebut akan
ditentang, atau bahkan ditolaknya. Misalnya nilai-nilai baru di masyarakat yang
mengatakan bahwa upacara hajatan dapat dilaksanakan kapan saja, karena pada
hakikatnya semua hari dan bulan itu baik sekalipun dilaksanakan di bulan Suro
(Muharram). Sedangkan di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Jawa ada
semacam keyakinan yang telah dipegang teguh karena telah menjadi adat kebiasaan
secara turun-temurun, ialah bahwa menyelenggarakan acara hajatan di bulan Suro
adalah suatu pantangan (dilarang), sebab jika dilaksanakan akan mendatangkan
mara bahaya (bencana), khususnya bagi mereka yang tetap menyelenggarakannya.
Dengan demikian, di kalangan masyarakat Jawa yang percaya serta memegang secara
teguh tradisi serta adat kebiasaan semacam itu, tentu akan mengalami kesulitan
untuk bisa merubah keyakinan yang telah mendarah daging itu, meskipun dari luar
angin perubahan telah bertiup dengan kencangnya.
5. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat (vested
interests)
Dalam setiap organisasi sosial yang mengenal sistem berlapis-lapisan, pasti akan ada sekelompok orang-orang yang menikmati kedudukan dalam suatu proses perubahan. Pada masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami masa transisi, misalnya saja dari otoritarianisme ke sistem demokrasi biasanya terdapat segolongan orang-orang yang merasa dirinya berjasa atas terjadinya perubahan-perubahan. Pada segolongan masyarakat yang berjasa itu biasanya akan selalu mengidentifikasikan diri dengan usaha serta jasa-jasanya tersebut, sehingga sulit sekali bagi mereka untuk melepaskan kedudukan yang baru diperolehnya itu dalam suatu proses perubahan. Hal inilah yang juga dirasa menjadi salah satu faktor penghalang berikutnya bagi jalannya suatu proses perubahan.
Dalam setiap organisasi sosial yang mengenal sistem berlapis-lapisan, pasti akan ada sekelompok orang-orang yang menikmati kedudukan dalam suatu proses perubahan. Pada masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami masa transisi, misalnya saja dari otoritarianisme ke sistem demokrasi biasanya terdapat segolongan orang-orang yang merasa dirinya berjasa atas terjadinya perubahan-perubahan. Pada segolongan masyarakat yang berjasa itu biasanya akan selalu mengidentifikasikan diri dengan usaha serta jasa-jasanya tersebut, sehingga sulit sekali bagi mereka untuk melepaskan kedudukan yang baru diperolehnya itu dalam suatu proses perubahan. Hal inilah yang juga dirasa menjadi salah satu faktor penghalang berikutnya bagi jalannya suatu proses perubahan.
6. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap tertutup
Adanya sikap semacam itu, misalnya dapat saja dialami oleh suatu masyarakat (bangsa) yang pada masa lalunya pernah mengalami pengalaman pahit selama berinteraksi dengan masyarakat (bangsa) lainnya di dunia. Sebut saja misalnya pada masyarakat-masyarakat yang dahulunya pernah mengalami proses penjajahan oleh bangsa lain, seperti bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika oleh penjajahan bangsa Barat. Mereka tidak akan melupakan begitu saja atas berbagai pengalaman pahit yang pernah diterimanya pada masa lalu, dan hal tersebut ternyata berdampak pada munculnya kecurigaan di kalangan bangsa-bangsa yang pernah dijajah itu terhadap sesuatu atau apa-apa yang datang dari barat. Selanjutnya, karena secara kebetulan unsur-unsur baru yang masuk itu juga kebanyakan berasal dari negara-negara barat, maka prasangka-prasangka (negatif) juga tetap ada, terutama akibat rasa kekawatiran mereka akan munculnya penjajahan kembali yang masuk melalui unsur-unsur budaya tersebut. Dengan demikian munculnya prasangka serta adanya sikap menolak terhadap kebudayaan asing juga akan menjadi salah satu faktor penghambat lain bagi jalannya proses perubahan sosial budaya suatu masyarakat.
Adanya sikap semacam itu, misalnya dapat saja dialami oleh suatu masyarakat (bangsa) yang pada masa lalunya pernah mengalami pengalaman pahit selama berinteraksi dengan masyarakat (bangsa) lainnya di dunia. Sebut saja misalnya pada masyarakat-masyarakat yang dahulunya pernah mengalami proses penjajahan oleh bangsa lain, seperti bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika oleh penjajahan bangsa Barat. Mereka tidak akan melupakan begitu saja atas berbagai pengalaman pahit yang pernah diterimanya pada masa lalu, dan hal tersebut ternyata berdampak pada munculnya kecurigaan di kalangan bangsa-bangsa yang pernah dijajah itu terhadap sesuatu atau apa-apa yang datang dari barat. Selanjutnya, karena secara kebetulan unsur-unsur baru yang masuk itu juga kebanyakan berasal dari negara-negara barat, maka prasangka-prasangka (negatif) juga tetap ada, terutama akibat rasa kekawatiran mereka akan munculnya penjajahan kembali yang masuk melalui unsur-unsur budaya tersebut. Dengan demikian munculnya prasangka serta adanya sikap menolak terhadap kebudayaan asing juga akan menjadi salah satu faktor penghambat lain bagi jalannya proses perubahan sosial budaya suatu masyarakat.
7. Nilai bahwa hidup ini buruk dan tidak mungkin dapat diperbaiki
Di kalangan masyarakat terdapat kepercayaan bahwa hidup di dunia itu tidak perlu ngoyo (terlalu berambisi) sebab baik buruknya suatu kehidupan (nasib/takdir) itu sudah ada yang mengatur, oleh karena itu harus dijalaninya secara wajar. Sementara jika manusia diberikan kehidupan yang jelek, maka harus diterimanya pula apa adanya (nrimo ing pandum) serta dengan penuh kepasrahan karena memang nasib yang harus diterimanya demikian. Dengan demikian manusia tidak perlu repot-repot berusaha, apalagi sampai ngoyo, karena tidak ada gunanya sebab hasilnya pasti akan jelek, sebab sudah ditakdirkan jelek. Adanya keyakinan dari masyarakat untuk selalu menerima setiap nasib yang diberikan Tuhan kepada manusia dengan penuh kepasrahan, termasuk bila harus menerima nasib (takdir) buruk, menyebabkan kehidupan masyarakat menjadi bersifat pesimistis dan statis, atau bahkan fatalistik. Adanya pemahaman yang keliru tentang nasib manusia itulah, sehingga di dalam masyarakat tidak muncul dinamisasi, yang berarti tidak ada perubahan, atau jika ada perubahan maka hal tersebut akan berjalan secara lambat.
Di kalangan masyarakat terdapat kepercayaan bahwa hidup di dunia itu tidak perlu ngoyo (terlalu berambisi) sebab baik buruknya suatu kehidupan (nasib/takdir) itu sudah ada yang mengatur, oleh karena itu harus dijalaninya secara wajar. Sementara jika manusia diberikan kehidupan yang jelek, maka harus diterimanya pula apa adanya (nrimo ing pandum) serta dengan penuh kepasrahan karena memang nasib yang harus diterimanya demikian. Dengan demikian manusia tidak perlu repot-repot berusaha, apalagi sampai ngoyo, karena tidak ada gunanya sebab hasilnya pasti akan jelek, sebab sudah ditakdirkan jelek. Adanya keyakinan dari masyarakat untuk selalu menerima setiap nasib yang diberikan Tuhan kepada manusia dengan penuh kepasrahan, termasuk bila harus menerima nasib (takdir) buruk, menyebabkan kehidupan masyarakat menjadi bersifat pesimistis dan statis, atau bahkan fatalistik. Adanya pemahaman yang keliru tentang nasib manusia itulah, sehingga di dalam masyarakat tidak muncul dinamisasi, yang berarti tidak ada perubahan, atau jika ada perubahan maka hal tersebut akan berjalan secara lambat.
8. Hambatan yang bersifat ideologis
Adanya faktor penghambat yang bersifat ideologis, karena biasanya setiap usaha mengadakan perubahan-perubahan pada unsur-unsur kebudayaan rohaniah, akan diartikan sebagai suatu usaha yang berlawanan dengan ideologi masyarakat yang merupakan dasar bagi terciptanya integrasi dari masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu faktor-faktor yang bersifat ideologis akan tetap menjadi perintang bagi jalannya perubahan-perubahan.
Adanya faktor penghambat yang bersifat ideologis, karena biasanya setiap usaha mengadakan perubahan-perubahan pada unsur-unsur kebudayaan rohaniah, akan diartikan sebagai suatu usaha yang berlawanan dengan ideologi masyarakat yang merupakan dasar bagi terciptanya integrasi dari masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu faktor-faktor yang bersifat ideologis akan tetap menjadi perintang bagi jalannya perubahan-perubahan.
9.Sikap masyarakat yang sangat tradisional
Apabila di dalam masyarakat muncul suatu sikap mengagung-agungkan akan tradisi masa lampau serta menganggap bahwa tradisi tersebut secara mutlak tak dapat dirubah, maka sudah dapat dipastikan bahwa pada masya-rakat tersebut akan mengalami hambatan-hambatan dalam proses perubahan sosial budayanya. Keadaan tersebut akan menjadi lebih parah lagi apabila golongan yang berkuasa dalam masyarakat juga berasal dari golongan yang bersifat konservatif, yakni suatu golongan yang notabenenya adalah penentang atau anti terhadap perubahan-perubahan.
Apabila di dalam masyarakat muncul suatu sikap mengagung-agungkan akan tradisi masa lampau serta menganggap bahwa tradisi tersebut secara mutlak tak dapat dirubah, maka sudah dapat dipastikan bahwa pada masya-rakat tersebut akan mengalami hambatan-hambatan dalam proses perubahan sosial budayanya. Keadaan tersebut akan menjadi lebih parah lagi apabila golongan yang berkuasa dalam masyarakat juga berasal dari golongan yang bersifat konservatif, yakni suatu golongan yang notabenenya adalah penentang atau anti terhadap perubahan-perubahan.
Selain yang sudah disebutkan di atas, dilihat dari segi intern (dari dalam
masyarakat yang mengalami perubahan), terjadinya proses perubahan sosial juga
dapat terhambat oleh karena adanya faktor-faktor sebagai berikut:
- Adanya sikap masyarakat yang ragu-ragu, bahkan curiga terhadap sesuatu yang baru yang dianggap dapat berdampak negatif.
- Adanya kecenderungan dari masyarakat untuk menyukai dan mempertahankan sesuatu hal yang lama.
- Kurangnya pengetahuan dan pendidikan masyarakat terhadap sesuatu yang baru.
0 komentar:
Posting Komentar